Thursday 28 April 2011

Dia, Dia, Dia.

Perumpamaan 1
Choco Corner
          Mustahil, pikirku. Bukankah seharusnya aku menyadari jauhnya jarak tempuh untuk bisa kesana? Hei, mata! Bisa kan melihat dengan kemampuan pandanganmu yang terbatas itu? Dan tenaga serta biaya yang diperlukan untuk sampai di tujuan pastinya akan membengkak melebihi apa yang bisa kuhabiskan di sana. Tapi setidaknya setimpal dengan rasa yang akan kuperoleh di lidahku yang kebas, antipati terhadap rasa lain.
          Jadi si penggemar cokelat --- Tidak. Kurasa lebih tepat bila disebut pecandu. Ya. Si pecandu cokelat kehilangan her own personal chocolate. Lantas bagaimana? Apakah aku terpaksa menerima kehilangan tersebut dan mencoba mencari brand lain yang pastinya tidak akan sama? Atau tetap berjuang mendapatkan kembali rasaku lagi, canduku lagi? Rasa yang telah mengendap lama di lidahku, menari-nari di langit-langit mulut bahkan ketika aku sedang tidak mengecapnya.

Perumpamaan 2
Pusat Tata Surya
          Aku terus berputar-putar, kebingungan. Pastilah aku tampak seperti planet paling linglung diantara semua planet di susunan tata surya. Planet kikuk yang kehilangan arah revolusinya, mencari-cari sesuatu yang tanpanya planetku hampa. Itu dia. Aku kehilangan pusat tata suryaku, matahariku, cahayaku.
          Tidak terlihat apapun, semuanya gelap pekat. Lantas seperti apa aku sekarang? Sebelum ini aku adalah planet cerah, berwarna-warni dan membiaskan cahaya cantik seperti pelangi ke sekelilingku. Apa aku berubah menjadi planet berwarna merah karena amarah yang menguasaiku, karena aku kehilangannya? Atau planet abu-abu bodoh yang bahkan tidak bisa menemukan jalur revolusinya kembali? Bisa jadi hitam sebab seperti yang kukatakan tadi, gelap tanpa cahaya yang biasanya berasal dari pusat tata suryaku. Tapi itu semua lebih baik daripada tidak memiliki warna apapun. Oh, masa bodohlah dengan warna! Sebab warnaku telah hilang, karena warnaku yang seutuhnya berasal darinya.

Perumpamaan 3
Adonis
          Aku mencintai seni. Patung-patung indah karya pemahat-pemahat terkenal. Namun sepertinya aku tak peduli dengan semuanya, karena Sang Penguasa Semesta telah menganugerahkan pahatan paling sempurna di dunia, setidaknya bagi duniaku. Ya, dia. Terpahat sempurna bagaikan dewa dalam mitologi Yunani. Siapa? Adonis. Yang diperebutkan oleh Aphrodite dan Persephone.
          Garis wajahnya yang berbentuk persegi mengagumkan. Tegas. Rambutnya? Oh, Tuhan... Rambutnya terjatuh begitu indahnya, tanpa dia berusaha. Wanita saja kalah. Begitu menurutku. Matanya yang seperti elang, tidak besar namun tajam, dan siapapun kaum hawa yang melihat kedalaman matanya pasti luluh, rela memberikan semua yang mereka punya untuknya, bayangan yang membuatku marah. Hidungnya tak diragukan lagi bentuk paling sempurna yang pernah kulihat. Bangir, mancung sempurna, definisiku. Hmm, bibirnya agak terlalu penuh, namun tidak mengurangi kesempurnaannya. Semuanya ditambah dengan bentuk tubuh yang tegap, seperti seseorang yang rajin ikut fitness, yang dikarantina wajib militer sehingga tubuhnya ditempa untuk menghasilkan bentuk dan kekuatan kokoh. Kulitnya gelap memesona. Tak tertahankan... Sungguh! Daya tariknya terhadap perempuan sangat kuat.
          Dan Adonis itu milikku. Pernah, koreksiku.